| |
Di antara dua tiang beranda rumah rapuh, Suyadi berdiri mematung. Tatapannya jauh ke sana, menerobos kegelapan, di mana debur ombak itu terdengar menghentak. Sementara istrinya, Najiha, duduk bergeming di lincak. Wajahnya kuyu tak berani menatap suaminya. Berharap cemas, sepetah-dua kata dari suaminya Najiha tunggu. “Coba kau bacakan lagi surat itu, Jiha.” Suyadi membalikkan tubuhnya dan di tatapnya istrinya lekat-lekat. Najiha kikuk. Sudah tahu buta huruf, masih saja sauminya menyuruhnya bacakan surat itu. “Anu, Kang. Kemarin Siti bilang, dalam bulan ini hutang-hutang kita harus segera dilunasi. Jika tidak, jika tidak Pak Lurah akan...“ Najiha menghentikan kalimatnya melihat suaminya kembali membelakanginya. “Buat apa siti pinjam uang sebanyak itu,” keluh Suyadi yang kemudian pergi dari hadapan istrinya, menuju tempat di mana ia letakan jaring ikan yang tadi siang ia perbaiki. Dengan perasaan bersalah, Najiha buntuti suaminya. “Kang, malam ini anginnya kencang,” ungkap Najiha saat melihat tangan suaminya mulai menggamit tumpukan jaring. “Baiknya, Akang tunda besok malam saja,” tambahnya saat mendapatkan suaminya acuh-tak acuh. “Tak baik menunda-nunda waktu. Sekarang, kau persiapkan saja bekal untukku,” perintah Suyadi tanpa memperdulikan kecemasan di wajah isterinya. Tanpa membantah, Najiha pun segera berjalan menuju dapur. Singkong rebus, sebungkus nasi jagung dan sebotol kopi, Najiha buntal dalam kain tepung. “Jiha,” sapa Suyadi seusai menerima perbekalan itu. “Kau jangan merasa bersalah. Dalam benakku, Siti sudah kuanggap sebagai darah dagingku sendiri. Maka keteledoran Siti adalah keteledoranku juga. Dan jangan khawatir, di mataku kau masih seperti dulu, saat-saat pertama kali kita bertemu. Ya, sampai saat ini kepadamu aku masih kepencut,” lanjut Matleye, lirih. Najiha tertunduk. Ingin sekali menangis. Betapa tidak, kalimat yang menyentuh telinganya melemparkannya pada masa-lalu begitu pahit. Ia merasa, ketulusan dan kejujuran orang yang dulu mencintainya harus ia balas penghinaan. Ia tak menyangka akhirnya orang yang ia campakkan menjadi pendamping setianya. “Di, janganlah kau memaksakan diri. Untukmu hati ini tertutup,” ungkap Najiha di hadapan Suyadi kesekiankalinya. “Aku bukan hanya milik satu orang saja, Di. Aku ini milik semua orang. Jadi, percuma kau kejar aku. Tak akan kau dapatkan, Di! Tidak akan! Lebih baik, berikan saja cintamu pada perempuan lain,” tambah Najiha meninggi. Sejak itulah Suyadi tak lagi menemui Najiha. Bahkan di kampungnya sendiri batang hidungnya tak pernah kelihatan. Lama-kelamaan lenyapnya Suyadi menjadi buah-bibir banyak orang, khususnya mereka pengagum si pelenggang cantik, Najiha. Bagai terbebas perasaan takut, mereka --para pengagum si cantik Najiha-- lega. Sebab, biang keonaran di setiap si cantik Najiha menggoyangkan pinggulnya lenyap ditelan bumi. Bagai lalat menebar kotoran, dugaan-dugaan bermunculan. Ada yang mengatakan—karena seringnya tidur berganti-ganti-- Suyadi mati oleh penyakit kutukan. Namun, orang-orang lebih percaya lenyapnya Suyadi di kaitkan dengan Pak Lurah. Pasalnya, goyangan pinggul Najiha juga membuat Pak Lurah tergila-gila. Suatu ketika, Pak Lurah mengancam Suyadi. Saat itu, satu malam suntuk Najiha harus memeriahkan sunatan anak bungsu Pak Lurah dengan goyangan-goyangannya. “Jika mulutmu tak kau tutup, kusembeleh lehermu,” bentak Pak Lurah sembari mengarahkan telunjuk pada tangan kirinya tepat di wajah Suyadi. Sontak, satu langkah Suyadi mundur. Andai saja ia tak melihat anak buahnya yang banyak, mungkin sudah ia sobek-sobek mulut Pak Lurah yang tambun itu. Dari kejauhan, Mata Suyadi awas memperhatikan jalannya pesta itu. Sepertinya Suyadi merencanakan sesuatu di luar dugaan Pak Lurah. Saat gelap membumbung di penghujung malam. Saat keringat mulai membanjiri lekuk-lekuk tubuh Najiha. Goyangan pinggul Najiha dihentikan. Tinggal penari lainnya mengambil perannya. Dengan ramah, Pak Lurah mempersilahkan Najiha beristirahat di ruang khusus. Sejak itulah Suyadi mulai beraksi. Mengendap-ngendap, Suyadi merangsek menuju pagar belakang rumah Pak Lurah.Sebelum melompati pagar setinggi dua kali dirinya, Suyadi panjati pohon jati. Dari atas pohon itu, leluasa mata Suyadi menelanjangi rumah Pak Lurah. Banyak penjaga mondar-madir di halaman depan. Dan betapa dagdigdug-nya jantung Suyadi, ketika dilihatnya beberapa orang berseragam juga mondar-mandir sana. Hati Suyadi ciut, orang-orang seperti itulah membuat tangan kiri Suyadi pengkor untuk selamanya. Keraguan menyelimuti hati Suyadi. Antara urung dan terus melangkah berkecamuk. Hingga, belum usai Suyadi membulatkan tekad, matanya menangkap dua sosok bermesraan di bawah temaramnya lampu pendapa belakang rumah. Dan tak lama kemudian dua sosok itu masuk ke sebuah ruangan. Gemuruh cemburu memukul-mukul dada Suyadi. Ingin segera dia berbuat sesuatu. Tapi, lagi-lagi bayangan orang-orang berseragam itu mengerdilkan nyalinya. Suyadi sadar, kali ini dia tak boleh bertindak gegabah. Dia harus hati-hati menghadapi musuh yang satu ini. Namun, sebelum ia bertindak lebih jauh, kegaduhan terjadi di halaman depan. Dan seketika itu pula, rintihan dan desahan nafas dalam kamar ikut terhenti. Tak lama kemudian silaki-lakinya yang ternyata Pak Lurah keluar dari kamar persenggamahan dan menghambur ke halaman depan. Tanpa membuang watu lama, Suyadi buka daun pintu kamar yang ia maksud. Saat matanya menatap tubuh Najiha yang tergolek tanpa sehelai kain, tak kuasa Suyadi menahan gejolak di dadanya. “Jangan berteriak, Jiha. Aku tak akan menyakitimu. Aku hanya minta waktumu sebentar. Sebentar saja.” Suyadi menghiba. “Kau laki-laki tak punya muka, Di. Sudah berapa kali kau kutolak, masih saja kau kejar aku,” tandas Najiha. “Tolong, Jiha. Tolong. Pikirkan sekali lagi. Dari pada kau menjadi istri simpanan si tambun itu, lebih baik kau bersamaku. Pikirkan, Jiha. Kelak kau pasti dicampakkan.” Begitulah kata-kata terakhir yang Najiha dengar dari mulut Suyadi. Sejak beberapa bulan menghilangnya Suyadi, Pak Lurah pun mempersunting Najiha sebagai istri keempatnya. Namun sayang, pernikah itu tak berlangsung lama. Ketika usia kehamilan Najiha delapan bulanan, Pak Lurah menceraikannya. Ia berdalih bayi dalam kandungan Najiha bukanlah benih, melainkan benih banyak lelaki, termasuk Suyadi. Semua orang ikut mengutuk Najiha. Najiha seperti wabah menular, bangkal menjakiti para suami. Namun, sebelum semuanya terlambat, tiba-tiba kedatangan Suyadi bagai lilin jalan terang Najiha. Sadar atas kondisi yang dialaminya, tentunya Najiha tak bisa bersikap seperti yang dulu-dulu. “Untuk apa kau mendatangiku, Di. Aku sudah tak cantik lagi. Lihat perutku ini.” Najiha menunjukkan perutanya yang kian membuncit. “Percaya atau tidak. Kepadamu, aku masih seperti dulu. Sekarang, aku minta keputusanmu. Maukah kau hidup bersamaku?” balas Suyadi, pelan. Seperti tersengat listrik, bibir Najiha bergetar. Air matanya mengembang. Mendengar permintaan Suyadi yang begitu tulus, gemuruh haru-pilu sesakkan dada Najiha. “Tak perlu kau ingat lagi masa lalu itu, Jiha. Percayalah, aku akan menjadi suamimu yang baik, bapak bagi anak dalam rahimmu itu. Percayalah, Jiha,” ungkap Suyadi meyakinkan. Sejak itulah di bawah atap satu Suyadi dan Najiha hidup. Hidup serba pas-pasan, tanpa keinginan macam-macam. Namun sayang, Suyadi seorang lelaki yang tak bisa memberi keturunan. Dia hanya mampu menjadi ayah bagi anak yang bukan benihnya, Siti. Sekali pun begitu, semangat Suyadi kuat membesarkan anak itu hingga tumbuh remaja, hingga saat ini, saat Suyadi temukan bulir-bulir cahaya terjatuh dari kelopak mata Najiha. “Apa yang kau pikirkan, Jiha? Apa ada yang salah denganku?” tanya Suyadi. “Ti,titidak. Tak ada yang salah.” Jawab Najiha tergeragap. “Lantas!?” Najiha menggeleng-gelengkan kepala. “Oh ya. Di mana Siti?” tanya Suyadi mengalihkan pembicaraan. “Tidur,” jawab Najiha singkat. “Bilang sama dia. Jangan khawatir, Pak Lurah tak bakal menyita rumah dan tanah ini,” tegas Suyadi meyakinkan. “Tunggu saja, aku pasti dapat ikan banyak. Oh ya, sudah saatnya aku berangkat. Jaga Siti baik-baik. Jangan sampai dia salah bergaulan,” tambah Suyadi melangkah pergi, menghilang di gelapnya malam. * * * Sekali pun di bawah bantal Siti benampkan wajahnya, sesenggukan itu tak bisa ia tahan. Sementara lelaki tua yang seharusnya kakeknya terkulai lemas di samping tubuhnya tanpa sehelai kain. “Siti, kau perempuan luar biasa,” ungkap lelaki tua itu menutup tubuh Siti dengan selimut. “Sudahlah, jangan menangis. Kau sayang Emmakmu kan!? Kau tak ingin Emmakmu hidup terlantar kan!?” lanjut lelaki ltu mengancam. “Pak Lurah...” “Jangan panggil aku Pak Lurah. Aku ini suamimu. Panggil saja aku Kang Mas,” potong lelaki tua itu. “Ya, katakan. Apa keinginanmu,” lanjut lelaki tua itu sembari memandang lekat wajah kedua bola mata Siti yang sembab. “Aku ingin melihat rumah. Bapak dan Ibuku memanggil-manggil namaku,” Jawab Siti seperti igauan. “Bapak!? Tak usah kau pikir Bapakmu, Siti. Bapakmu sudah lama pergi bersama ombak. Biarkanlah bahagia di alamnya. Apalagi Ibukmu. Setiap minggu aku kirimi beras, dan makanan. Ibukmu bahagia,” jelas lelaki tua itu. Malam kian larut. Dingin pun menggigit. Seperti halnya bunyi-bunyian binatang malam, dengkur lalaki tua membelah keheningan. Sementara igauan Siti menyerupai desis ular merambahi malam; mimpi-mimpi, tubuh-tubuh yang mati. Di setiap desisannya ia berkata, “Cinta!? Terkutuklah engkau.” *** Yogyakarta, Mei 2009 sumber : http://www.sriti.com/story_view.php?key=3225 | |
Cerpen Cintamu Terlalu Muda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar